Hidup Tak Sekadar Tentang Memiliki

Minggu, 26 Agustus 2018 - 11:34 WIB
Hidup Tak Sekadar Tentang...
Hidup Tak Sekadar Tentang Memiliki
A A A
Kehidupan modern banyak melahirkan manusia serakah yang terus menumpuk kepemilikan. Orang kini melihat diri sebatas pada apa yang dimilikinya. Identitas dan kesadaran diri orang terletak pada sesuatu di luar dirinya.

Akibatnya, orang terputus dari dirinya sendiri; dari ketulusannya sebagai manusia yang berjiwa dan punya potensi membuat hidup menjadi lebih baik dan bermakna.

The Art of Living adalah terjemahan dari buku The Essential Fromm, kompilasi teks-teks penting Erich Fromm. Fromm menyebut orang yang hanya menumpuk kepemilikan sebagai manusia yang berorientasi memiliki, di mana orang larut dalam “objek” yang dimilikinya.

Apa yang dimilikinya dan dirinya telah menjadi benda. Orang yang hidup dalam modus eksistensi memiliki merasa memiliki sesuatu. Sayangnya, objek yang dimilikinya juga telah memilikinya. Sebab, kesadaran identitas seseorang, juga “kewarasannya”, bergantung pada ke pemilikannya atas objek tersebut (dan sebanyak mungkin objek yang lain).

“Dalam modus eksistensi memiliki, relasi saya dengan dunia bersifat menguasai dan menggenggam, sehingga yang saya inginkan adalah membuat setiap orang dan semua hal, termasuk diri saya sendiri, milik saya,” jelas Fromm (h. 82). Fromm menawarkan modus eksistensi menjadi .

Prasyaratnya adalah kemerdekaan, kebebasan, dan ada nalar yang kritis dan keaktifan. Namun, keaktifan di sini tidak bersifat lahiriah belaka. Keaktifan mesti ditandai aktivitas batin. “Menjadi aktif berarti memperbarui diri sendiri, bertumbuh, mengalir ke luar, mengasihi, melampaui penjara ego yang mengisolasi diri, menunjukkan ketertarikan, ëmendengarkaní, memberi,” jelas Fromm (h. 102).

Setelah memaparkan dua modus eksistensi tersebut, buku ini mengajak kita memahaminya secara lebih konkret lewat pelbagai fenomena yang terjadi pada manusia dewasa ini. Seperti konsumerisme, kesibukan, narsisme, sampai pemberhalaan.

Tentang konsumerisme, Fromm melihat dorongan untuk terus membeli adalah tanda kecemasan. Orang semakin tak berdaya berpartisipasi aktif dalam pelbagai peristiwa besar seperti gerak produksi dari sistem kapitalis sehingga secara individual merasa cemas dan menutupinya dengan mengonsumsi.

“Namun, orang yang tergoda rayuan mengonsumsi pun gelisah sebab dia menjadi pasif, hanya menjadi pihak yang mengambil, tidak aktif mengalami apa pun di dunia ini,” jelas Fromm (h. 119). Dewasa ini orang dianggap bahagia ketika bisa membeli apa pun yang diinginkan.

Namun, konsumsi pada dasarnya tak bisa membuat orang bahagia. Menurut Fromm, kebahagiaan manusia terletak pada cintanya akan hidup dan itu hal yang aktif; di dalam “sukacita” dalam mengalami pelbagai hal dalam mendayagunakan potensinya untuk menciptakan sesuatu.

Inilah modus eksistensi menjadi . Modus eksistensi menjadi juga bisa dipahami dari konsep “kesibukan”. Dalam pengertian modern, “kesibukan” cenderung dipahami sebagai padatnya aktivitas.

Menurut Fromm, harus dibedakan apakah orang sibuk karena digerakkan kekuatan internal atau oleh tuntutan dari luar? Orang bisa saja sibuk karena pelbagai proyek pekerjaan, namun apakah dirinya benar-benar “ada” dan “mengalami” di setiap kesibukannya tersebut? Tentang hal tersebut, Fromm memaparkan “aktivitas teralienasi” dan “tidak teralienasi”.

Dalam aktivitas teralienasi, orang tak lagi mengalami dirinya sendiri sebagai subjek yang bertindak dari aktivitasnya, melainkan menjadi objek tindakan. Sebaliknya, dalam aktivitas tidak teralienasi, orang mengalami sendiri sebagai subjek aktivitasnya.

Fromm menyebutnya sebagai aktivitas produktif. Produktif di sini tak sekadar tentang banyak karya yang dihasilkan, namun sejauh mana orang mengalami, menjiwai, dan memaknai tiap tindakannya. “Orang produktif mengembuskan hidup pada apa pun yang mereka sentuh,” jelas Fromm (h. 133) .

Hal yang juga menjadi sorotan dari manusia modern adalah fenomena “pemberhalaan”. Pelbagai pencapaian modern melahirkan manusia yang memberhalakan konsep produksi, konsumsi, teknologi, serta perusakan alam sehingga mengesampingkan Tuhan.

Menurut Fromm, penyembahan berhala tersebut merupakan tindakan mengingkari kedirian manusia sebagai makhluk berjiwa yang hidup. Alih-alih mencari sukacita , manusia hanya mengejar kepuasan dan kenikmatan.

“Alih-alih berorientasi pada menjadi, manusia mengerahkan dirinya semata-mata pada memiliki dan menggunakan,” tulis Fromm (h. 176). Membaca teks-teks pemikiran Erich Fromm yang dihimpun di buku ini ibarat mengambil jeda dari keriuhan kehidupan modern.

Kita diajak merenungi apakah hidup kita bersumber dari ketulusan dan penjiwaan dari dalam diri atau malah tanpa sadar didikte dari luar untuk terus menumpuk kepemilikan.

Kita bisa menilai, apakah hidup kita menjadi bermakna karena modus eksistensi menjadi atau justru terjebak dalam kegelisahan dan kesepian karena terperosok dalam modus eksistensi memiliki ?.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0629 seconds (0.1#10.140)